(sumber gambar : http://julianaso.files.wordpress.com)
" Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra menerjang ombak tiada takut menempuh badai sudah biasa " (NN)
Bait pertama lagu yang sering kita dengar dan nyanyikan saat masa kanak-kanak itu seakan menyadarkan dan mengingatkan kita kembali akan betapa luasnya potensi maritim Negara kita. Indonesia yang merupakan salah satu Negara kepulauan terluas di dunia dengan luas total perairan yang berada pada wilayahnya seluas 3.257.483 km² (http://id.wiwkipedia.org), jika dibandingkan daratannya yang seluas 1.922.570 km², maka dapat dilihat potensi besar kemaritiman Negara kita yang gemah ripah loh jinawi ini.
Namun selama ini, pemerintahan Negara kita belum menggali, alih-alih mengembangkan potensi kemaritiman Negara ini. Mulai dari manfaat ekonomi yang dikandung dalam lautan Indonesia, teknologi kelautan, perkapalan yang seharusnya bisa menjadi identitas yang membanggakan bagi negeri ini. Dari pemanfaatan kekayaan hasil laut, kita tertinggal dibandingkan Negara lain, seperti Cina ( yang notabene sebagaianbesar wilayah negaranya merupaakn daratan ), Jepang bahkan beberapa Negara ASEAN yang dengan nyaman mengaduk dan mengambil kekayaan laut Negara kita untuk kesejahteraan mereka. Hal ini bisa mereka lakukan karena teknologi penangkapan ikan yang mereka gunakan jauh melebihi kapasitas teknologi yang dimiliki oleh rata-rata nelayan kita. Tidak hanya produk langsung dari laut, tetapi produk sampingan seperti garam dapur saja, Indonesia yang memiliki garis pantai yang panjang, serta lautan yang luas, ditambah lagi dengan intensitas cahaya matahari yang diterimanya, sebagai Negara yang terletak poda garis ekuator, sangat banyak setiap tahunnya dibandingkan dengan Negara lain di dunia, masih mengimpor garam dapur dari Negara lain. Jumlahnya juga cukup besar, yaitu kurang lebih 1,58 juta ton per tahun senilai Rp. 900 miliar (http://kompas.com). Sungguh sebuah ironi yang harus dicari solusinya. Berbicara mengenai teknologi kelautan, kita masih kalah dibandingkan dengan Jepang, atau bahkan mungkin akan dikalahkan Cina. Menurut Rokhmin, Direktur Centre for Coastal and Marine Resources Studies, “ Penguasaan teknologi kelautan kita termasuk ketinggalan dibandingkan dengan negara lainnya, bahkan dengan Malaysia sekali pun, apalagi Taiwan". Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan dimana, Negara yang mempunayai potensi maritim, penguasaan teknologi kelautannya masih kurang, bahkan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya akan garam saja tidak mampu
.
.
Jika kita melihat fokus pengembangan dan pembangunan pemerintahan kita, maka dapat dilihat bahwa paradigma yang dibawa adalah pembangunan agraris dengan target swasembada pertanaian. Suatu paradigma yang tidak dapat dikatakan salah, namun sayangnya tidak dibarengi dengan pembagunan di sektor kelautan. Indonesia sebagai Negara dengan potensi yang luar biasa terkesan seperti salah jalan dalam merencanakan pembangunannya. Menurut Gading Mahendradata, Paradigma darat/agraris masih kuat melekat pada kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama pemerintahnya. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi. Industri pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi yang kuat (http://gadingmahendradata.wordpress.com). Hal inilah yang menyebabkan kita belum bisa menemukan identitas kemaritiman kita hingga saat ini, paradigam yang harsu diubah mengingat potensi kelautan kita seharusnya mampu mensejahterkan rakyat kita sesuai dengan amanat konstitusi kita. Perlu dilakukan langakah perbaikan dalam pembangunan kelautan kita, tenti saja dengan 2 pokok maslah yaitu hasil laut dan sampingannya serta penguasaan teknologi kelautan.
Mengingat potensi kemaritiman kita yang sangat besar, optimalisasi hasil kelautan harus segera dilaksanakan, diantarannya optimalisasi perikanan, khususnya usaha perikanan laut. Sampai tahun 2002, Indonesia masih mengalami defisit ikan, sedangkan nilai eksploitasinya hanya sekitar 57 persen. Penyebab dari tidak optimalnya pembangunan perikanan ini adalah tidak seimbangnya daerah operasional penangkapan ikan dan kapasitas sumber dayanya, termasuk pada penguasaan teknologi penangkapan ikannya, alatnya, serta kapal yang digunakan. Pada daerah dengan sumber daya terbatas (Laut Jawa dan sekitarnya) terjadi penangkapan ikan yang melebihi potensi sebenarnya (overfishing), bahkan mencapai 130,26 persen. Sebaliknya, di kawasan tertentu (pantai selatan Jawa) jumlah tangkapan ikan masih di bawah potensi sebenarnya (underfishing) dengan tingkat tangkapan hanya mencapai 41,72 persen ( http://blog.its.ac.id ). Perlu dilakukan manajemen berskala nasional guna mengatur persebaran ini, sehingga hasil laut langsung dapat dioptimalkan, bisa berupa semacam lembaga perkumpulan /asosiasi nelayan nasional yang disokong oleh pemerinyah melalui DKP . Selain itu, menurut Fadel Muhammad, Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia dalam kuliah umunya di Aula Barat ITB, tanggal 20 April 2011, selain optimalisasi tangkapan langsung, sektor budidaya perikanan harus ditingkatkan lagi, karena sektor ini lebih mudah diatur dan tidak bergantung penuh pada cuaca selain itu akan membuka lapangan pekerjaan, namun seklai lagi butoh modal besar dalam melaksanakannya. Budidaya dilakukan terhadap ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, serta nilai konsumsi tinggi, seperti Ikan Kerapu, Ikan Tuna, dsb.
Selanjutnya, pengembangan wilayah pesisir pantai, Departemen Kelautan dan Perikanan sampai saat ini masih mempersiapkan rencana tentang pengelolaan pulau-pulau kecil, khususnya yang terletak di perbatasan negara sebagai dasar kewenangan pusat atas pemanfaatan lingkar batas negara untuk berbagai kepentingan, termasuk peluang investasi, terutama agribisnis. Hal tersebut dilakukan terkait urgensinya menyangkut geopolitik, geo-ekonomis, dan geostrateginya, selain itu lebih jauh perlu dibangun pusat-pusat perikana yang dikenal dengan konsep Minapolitan, dimana suatu daerah direncanakan dengan baik pengembangan kebijakan wilayahnya dan infrastruktur pendukungnya sehingga mampu menjadi pusat perikan tidak hanya pusat tangkapan ikan, tetapi juga budidaya, pengembangan teknologi kelautan, serta pusat agribisnis bidang perikanan.
Terakhir, pengembangan industri wisata bahari. Program wisata bahari ini diarahkan kepada pengembangan kawasan wisata pesisir dan pantai serta taman laut Nusantara. Yang perlu mendapatkan perhatian serius karena nilai ekonominya yang sangat tinggi adalah pengelolaan terhadap taman laut yang kaya akan terumbu karang. Diperkirakan sedikitnya 950 jenis terumbu karang terdapat di perairan Indonesia dengan potensi luas mencapai 60.000 km2 dan membentang sepanjang 17.500 km. Seperti daerah Kepulauan Tukang Besi (Sulsera), Kepulauan Takabonerate (Sulsel), dan Bunaken (Sulut). Bahkan, kalau dibandingkan dengan taman laut dunia, seperti di Tahiti, Kepulauan Karibia, dan Great Barrier Reef di Australia, nilai keindahan yang dimiliki taman laut Indonesia jauh lebih tinggi (World Tourism Organization). Selain untuk keuntungan pariwisata, bisa menjadi kampanye untuk mengajak seluruh pendudk kembali mencintai laut Indonesia. Ikut melestarikan laut, selain itu juga sebagai kampanye meningkatkan konsumsi produk laut per kapitan rakyat Indonesia. Membuat Indonesia tidak terkenal hanya karena batiknya, tetapi juga lewat keindahan alam bawah lautnya yang terkelola baik, serta produk ikan olahannya.
Selain itu kebijakan pemerinath akan impor ikan, pemberian kredit lunak tanpa agunan kepada pengusaha perikanan, program pendidikan kewirausahaan bidang perikan juga akan mengatasi masalah hasil laut ini.
Sedangkan untuk penguasaan teknologi kelautan, perlu dilakukan revitalisasi Balai Riset Perikanan dan Kelautan Indonesia sebagai lembaga penelitian dan pengembangan teknologi kelautan Indonesia. Lembaga ini nantinya harus mampu menyediakan sumber ilmiah akan teknologi kelautan yang sesuai dengan kultur rakyat kita. Tentunya revitalisasi ini juga mengharuskan adanya dana penelitian perikanan yang berkelanjutan, problem ini dapat diatasi jika nantinya hasil kerja lembaga ini seperti bibit ikan unggul, metode budidaya, metode penangkapan dapat dimanfaatkan oleh nelayan kita, sehingga mampu bernilai ekonomis. Dari hasil itulah penelitian berkelanjutan demi penguasaan dan pengembangan teknologi khas Indonesia dapat dilakukan, tentu saja diinisiasi oleh pemerintah. Selain itu rencana pembanguna Institut Perikanan dan Kelautan Indonesiamerupakan ide yang cemerlang guna menghasilakn SDM yang mumpuni di bidang perikanan dan keluatan. Pemberian beasiswa luar negeri untukbidang perikanan dan teknologi kelautan juga opsi yang baik guna mengatasi masalah SDM ini.
Dengan optimalisasi hasil kelautan serta penguasaan tenologi kelautan yang baik, tentu akan menegaskan identitas kita sebagai Negara Maritim Indonesia, dan tentunya dalam jangka panjang melaui bidang maritim ini kita dapat menggantungkan masa depan kesejahteraan rakyat Indonesia menuju arah yang lebih baik. Dan tentunya kita akan bangga lagi menyanyikan lagu “ Nenek Moyangku orang Pelaut ” !!!
vaporvm
BalasHapus